Kenaikan UMK 2022 Merupakan Terendah Sepanjang Sejarah, Akibat PP dari Turunan UU Cipta Kerja

- Senin, 6 Desember 2021 | 15:43 WIB
ilustrasi : buruh sedang melipat sarung di salah satu pabrik (Antara via Suara Merdeka)
ilustrasi : buruh sedang melipat sarung di salah satu pabrik (Antara via Suara Merdeka)

KOLOM - Azka Muthia *

STANDAR HIDUP DI TENGAH KENAIKAN UPAH YANG MINIM

Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kota Pekalongan Tahun 2022 sudah ditetapkan. Penetapan UMK Kota Pekalongan tahun 2022 sebesar Rp 2.156.213,77 atau hanya naik sebesar 0,77 persen.

Kenaikan itu lebih rendah dibanding kenaikan rata-rata UMK nasional yang besarannya 1,09 persen. Kenaikan itu dilakukan setelah di pada 2021 upah buruh tidak naik akibat resesi ekonomi yang terjadi tahun 2020.

Kenaikan UMP tahun 2022 merupakan yang terendah sepanjang sejarah Indonesia. Hal itu dampak dari berlakunya UU Cipta Kerja. Pasalnya Penetapan UMP tahun 2022 sudah mengacu pada PP No 36 Tahun 2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja. Kenaikan yang minim ini jelas mengecewakan buruh.

Tuntutan kenaikan upah sebesar 7-10 persen yang diajukan oleh buruh ternyata tidak diindahkan pemerintah. Bagi pemerintah menghadapi tuntutan kenaikan upah itu dilematis. Di satu sisi pemerintah berkewajiban memastikan buruh terpenuhi standar hidup yang layak, tapi di sisi lain pemerintahh harus mengakomodasi kepentingan pengusaha dalam rangka memulihan ekonomi di tengah pandemi Covid 19.

Apabila merujuk pada PP Nomor 78 Tahun 2015, kenaikan UMP tahun 2022 bisa lebih besar karena penghitungannya merupakan hasil penjumlahan dari pentumbuhan ekonomi triwulan 2-2021 sebesar 7,07 persen dan angka inflasi September 2021 (y-o-y) sebesar 1,6 persen. Namun, jika menggunakan aturan terbaru sesuai PP Nomor 36 tahun 2021 penghitungannya berbeda.

Dalam aturan PP terbaru, kenaikan upah didasarkan dari nilai salah satu yang terbesar antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Apabila di peraturan sebelumnya angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang digunakan adalah angka nasional, pada penyesuaian formula yang baru menggunakan angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi tingkat provinsi.

Formula penyesuaian upah minimum yang baru ini bertambah rumit dibandingkan peraturan sebelumnya. Penghitungan batas atas upah minimum memasukkan nilai rata-rata konsumsi per kapita dikali dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga. Kemudian dibagi dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang bekerja. Harapannya formula ini mencerminkan kondisi standar hidup layak yang sebenarnya sesuai dengan rata-rata kebutuhan rumah tangga di masing-masing daerah.

Jika ditelaah, penghitungan yang baru ini memberlakukan ketentuan, semakin besar selisih antara UMP/UMK dengan batas atas upah minimum, maka semakin besar pengali untuk kenaikan UMP/UMK setiap tahunnya. Demikian juga sebaliknya, apabila nominal UMP/UMK semakin mendekati batas atas upah minimum, maka semakin kecil pengali untuk kenaikan UMP/UMK setiap tahunnya.

Selain itu hendaknya kenaikan upah minimum tidak hanya berdasarkan kenaikan harga barang/jasa, tapi juga perubahan komponen pengeluaran/konsumsi. Standar hidup layak sebelum dan sesudah pandemi tentu berbeda karena adanya perubahan pola konsumsi masyarakat. Misalnya, hasil survei BPS tahun 2020, dampak Covid-19 menunjukkan pengeluaran penduduk mengalami peningkatan untuk kesehatan dan informasi/komunikasi. Konsumsi produk kesehatan meningkat hingga 73,30 persen selama pandemi, sedangkan pulsa dan paket data meningkat sebesar 56,60 persen.

Oleh karena itu data konsumsi rata-rata hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dari BPS dapat digunakan pemerintah sebagai alat untuk mengakomodir komponen kebutuhan hidup yang bersifat dinamis. Tujuannya agar pemerintah dan masyarakat dapat mengetahui konsumsi rata-rata tiap daerah.

Permasalahan selanjutnya adalah ketimpangan upah yang terjadi antar pekerja usaha mikro dan usaha besar. Pasalnya saat ini kebijakan upah minimum ini baru diberlakukan untuk usaha berskala menengah dan besar. Padahal sekitar 75 persen tenaga kerja di Indonesia bekerja pada usaha mikro kecil.

Data dari BPS juga menyebutkan pada tahun 2020 proporsi tenaga kerja pada sektor Industri Manufaktur Besar dan Sedang hanya sebesar 13,61 persen. Jumlah itulah yang mendapat ketentuan UMK/UMP. Sementara pada usaha mikro dan kecil, pengupahan masih berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan buruh.

Data saat ini pengupahan pekerja usaha mikro dan kecil ternyata hanya pada rentang paling sedikit 50 % dari rata-rata konsumsi masyarakat tingkat provinsi atau 25 persen dari di atas garis kemiskinan provinsi.

Halaman:

Editor: Haryoto Bramantyo

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X